BAB II
PEMBAHASAN
A.
‘Ariyah (Pinjam-Meminjam)
1.
Pengertian ‘Ariyah (Pinjam-Meminjam)
Menurut etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘ara yang
berarti datang dan pergi (Arianti,
2014:29). Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal
ini terdapat perincian beberapa madzhab:
Madzhab Maliki ‘Ariyah
adalah
memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan
tanpa imbalan. Madzhab Hanafi ‘ariyah adalah memberikan hak memiliki
manfaat secara cuma-cuma. Madzhab Syafi’i
meminjamkan ialah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang
mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada
pemiliknya. Madzhab Hambali ‘ariyah
adalah kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau
yang lainnya (Suhendi, 2010:91-92).
Jadi ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari
seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila digantikan dengan
sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah (Suhendi,
2010:93).
2.
Dasar Hukum ‘Ariyah (Pinjam-Meminjam)
‘Ariyah
berfungsi sebagai tolong-menolong bagi orang yang memiliki harta dengan orang
yang tidak memiliki harta (Arianti, 2014:30). Adapun yang menjadi dasar hukum
perjanjian pinjam-meminjam ini didasarkan kepada ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW.
a.
Al Quran
Sebagaimana firman Allah SWT
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْو ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ
Artinya:
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”(Q.S Al Maidah ayat 2)
b. Hadist Nabi
أدالا مانة !لى من ائتمنك ولاتخن من خانك (رواه أبو داود)
“Sampaikanlah
amanat orng yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat
sekalipun dia khianat kepadamu” (Abu Daud)
العا رية مؤ ذاة (رواه أبو داود)
“Barang
pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan” (Riwayat Abu Daud)
Dari ayat dan hadist tentang ‘ariyah, maka memberikan
kejelasan terhadap disyariatkannya ‘ariyah tersebut. Ulama Fikih sepakat
menyatakan bahwa hukum ‘ariyah itu sunat karena ‘ariyah merupakan
salah satu bentuk ta’abbud kepada Allah SWT (Arianti, 2014:31).
3.
Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah
satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan
menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab
kabul dengan ucapan (Suhendi, 2010:94).
Adapun menurut jumhur ulama “dalam akad” ‘ariyah harus terdapat
beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:
a. Orang yang meminjamkan (mu’ir)
b. Orang yang meminjam (musta’ir)
c. Barang yang dipinjamkan (mu’ar), dan
d. Shighat.
Adapun syarat-syarat ‘ariyah berikut dengan rukun yang telah dikemukakan di atas,
yaitu orang yang meminjamkan, barang yang dipinjamkan, dan sighat (Muslich. 2015:471).
a. Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Orang yang
meminjmamkan disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan tabarru
(pemberian tanpa imbalan), meliputi:
1). Baligh.
Ariyah tidak sah dari anak yang masih di bawah umur, tetpi ulama
Hanafiyah tidak memasukkan baligh sebagi syarat ‘ariyah, melainkan cukup
mumayyiz.
2). Berakal. ‘Ariyah tidak sah
apabila dilakukan oleh orang gila.
3). Tidak mahjur ‘alaih karena boros
atau pailit. Maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang mahjur
‘alaih, yakni orang yang dihalangi tasarruf-nya.
4). Orang
yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang akan dipinjamkan. Dalam hal
ini tidak perlu memiliki bendanya karen objek ‘ariyah adalah
manfaat, bukan benda.
b. Syarat-syarat orang yang meminjam
Orang yang
meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1). Orang yang meminjam harus jelas. Apabila
peminjam tidak jelas (majhul), maka ‘ariyah hukumnya tidak
sah.
2). Orang yang meminjam harus memiiki hak
tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’. Dengan demikian, meminjamkan barang kepada anak di bawah umur, dan gila
hukumnya tidak sah. Akan tetapi, apabila peminjam boros, maka menurut qaul yang
rajih dalam madzab syafi‟i, ia dibolehkan menerima sendiri ‘ariyah tanpa persetujuan wali.
c. Syarat-syarat barang yang dipinjam
Barang yang
dipinjam harus memenuhi syarat sebagai beriku:
1). Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik
pada waktu sekarang maupun nanti. Dengan demikian, barang yang
tidak bisa diambil manfaatnya, seperti mobil yang mogok, tidak boleh
dipinjamkan. Manfaat yang diperoleh peminjam ada dua macam, yaitu
a). Manfaat murni yang bukan benda, seperti
menempati rumah, mengendarai mobil, dan semacamnya.
b). Manfaat yang diambil dari benda yng dipinjam,
seperti susu kambing, buah dari pohon, dan semacamnya.Apabila seseorang
meminjam seekor kambinguntuk diambil susunya, atau menam pohon durian untuk
diambil buhnya, maka dalam hal ini ‘ariyah hukumnya sah menurut pendapat
yang mu’tamad.
2). Barang yang dipinjamkan harus berupa barang
mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara’. Apabila
barang tersebut diharamkan maka ‘ariyah hukumnya tidak sah.
3). Barang yang dipinjamkan apabila diambil
manfaatnya tetap utuh. Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan
minuman, sudah pasti akan habis.
d. Shighat, dengan syarat:
Suatu ungkapan
yang dapat menunjukkan adanya izin untuk memanfaatkan barang yang dipinjamkan
seperti ungkapan “aku pinjamkan kepadamu”. Atau ungkapan yang dapat menunjukkan
adanya permohonan untuk meminjamkan barang seperti ungkapan “pinjamkan
kepadaku“ dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan bicaranya (Muslich.
2015:472-473).
4.
Macam-macam Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar
bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkan secara muqayyad
(terikat) atau mutlaq (Arianti, 2014:32-33).
a.
‘Ariyah
Mutlaqah
‘Ariyah
Mutlaqah yaitu pinjam
meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun, umpamanya
apakah pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk
orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaannya.
Contohnya:
seseorang meminjakan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang
berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, umpamanya waktu dan tempat
mengendarainya.
Namun demikian,
harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh
menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika, penggunaannya
tidak disesuaikan dengan kebiasaan dan barang pinjaman tersebut rusak, maka musta’ir
harus bertanggung jawab.
b.
‘Ariyah
Muqayyadah
‘Ariyah Muqayyadah adalah akad peminjaman barang yang dibatasi dari segi waktu dan
pemanfaatannya, baik diisyaratkan pada keduanya atau salah satunya. Maka, musta’ir
harus bisa menjaga batasan tersebut. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila
menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat
keterbatasan tersebut. Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan
tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya.
Jika ada
perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu
meminjam, berat atau nilai barang, tempat dan jenis barang, maka pendapat yang
harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk
mengambil manfaat barang pinjaman tersebut ssuai dengan keinginanya.
5.
Menarik Barang Pinjaman
Ulama fiqh
berbeda pendapat tentang hukum menarik kembali barang pinjaman.
Menurut Imam
Syafi’i dan Abu Hanifah, orang yang meminjamkan boleh mencabut kembali barang
yang dipinjamkan apabila dikehendakinya karena akad pinjam-meminjam hukumnya
boleh.
Sedangkan menurut
Malik yang terkenal, ia tidak boleh mencabut kembali sebelum diambil manfaatnya
oleh peminjam. Apabila ia mensyaratkan suatu masa tertentu, maka masa tersebut
harus dipenuhi. Sedangkan apabila ia tidak mensyaratkan suatu masa tertentu,
maka ia harus memenuhi suatu masa yang oleh orang banyak dianggap pantas untuk
peminjam tersebut (Rusyd, 2007:308).
Perbedaan
pendapat tersebut menurut Ibnu Rusyd, disebabkan oleh perbedaan pemahaman atas
bentuk akad pinjaman. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah akad pinjam tidak
mengikat, sedangkan menurut Imam Malik akad pinjam itu mengikat sehingga tidak
boleh diambil kembali sampai barang pinjaman itu dimanfaatkan oleh peminjam.
Sebaliknya, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa akad pinjaman
tersebut tidak mengikat sehingga kapan pun peminjam hendak mengambil barang
pinjamannya, hal itu dibolehkan (khoshiy’ah, 2014:141-142).
6.
Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang
pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik
karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut
Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia
terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat
bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena
tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda: “Pinjaman yang tidak
berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”.
DAFTAR PUSTAKA
Arianti, F. 2014. Fikih Muamalah II. Cetakan
pertama. STAIN Batusangkar press. Batusangkar.
Khosyi’ah, S. 2014.
Fiqh Muamalah Perbandingan. Cetakan Pertama. CV Pustaka Setia. Bandung.
Muslich, A. W. 2015.
Fiqh Muamalah. Cetakan 3. Amzah. Jakarta.
Rusyd, I. 2007. Bidayatul
Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jilid 3. Pustaka Amani.
Jakarta.
Suhendi, H. 2010. Fiqh
Muamalah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
No comments:
Post a Comment