Tuesday, October 22, 2019

pinjam meminjam (ariyah)


BAB II
PEMBAHASAN

A.    ‘Ariyah (Pinjam-Meminjam)

1.      Pengertian ‘Ariyah (Pinjam-Meminjam)

Menurut etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘ara yang berarti datang dan pergi (Arianti, 2014:29). Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab:
Madzhab Maliki ‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa imbalan. Madzhab Hanafi ‘ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma.  Madzhab Syafi’i meminjamkan ialah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.  Madzhab Hambali ‘ariyah adalah kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya (Suhendi, 2010:91-92).
Jadi ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah (Suhendi, 2010:93).

2.      Dasar Hukum ‘Ariyah (Pinjam-Meminjam)

‘Ariyah berfungsi sebagai tolong-menolong bagi orang yang memiliki harta dengan orang yang tidak memiliki harta (Arianti, 2014:30). Adapun yang menjadi dasar hukum perjanjian pinjam-meminjam ini didasarkan kepada ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
a.       Al Quran
Sebagaimana firman Allah SWT
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْو  ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”(Q.S Al Maidah ayat 2)

b.      Hadist Nabi
أدالا مانة !لى من ائتمنك ولاتخن من خانك (رواه أبو داود)
“Sampaikanlah amanat orng yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (Abu Daud)
العا رية مؤ ذاة (رواه أبو داود)
“Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan” (Riwayat Abu Daud)

Dari ayat dan hadist tentang ‘ariyah, maka memberikan kejelasan terhadap disyariatkannya ‘ariyah tersebut. Ulama Fikih sepakat menyatakan bahwa hukum ‘ariyah itu sunat karena ‘ariyah merupakan salah satu bentuk ta’abbud kepada Allah SWT (Arianti, 2014:31).

3.      Rukun dan Syarat ‘Ariyah

Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan (Suhendi, 2010:94).
Adapun menurut jumhur ulamadalam akad” ‘ariyah harus terdapat beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:
a.       Orang yang meminjamkan (mu’ir)
b.      Orang yang meminjam (musta’ir)
c.       Barang yang dipinjamkan (mu’ar), dan
d.      Shighat.
Adapun syarat-syaratariyah berikut dengan rukun yang telah dikemukakan di atas, yaitu orang yang meminjamkan, barang yang dipinjamkan, dan sighat (Muslich. 2015:471).
a.       Syarat-syarat orang yang meminjamkan
Orang yang meminjmamkan disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan tabarru (pemberian tanpa imbalan), meliputi:
1).     Baligh. Ariyah tidak sah dari anak yang masih di bawah umur, tetpi ulama Hanafiyah tidak memasukkan baligh sebagi syarat ‘ariyah, melainkan cukup mumayyiz.
2).    Berakal. Ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.
3).    Tidak mahjur alaih karena boros atau pailit. Maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang mahjur ‘alaih, yakni orang yang dihalangi tasarruf-nya.
4).     Orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang akan dipinjamkan. Dalam hal ini tidak perlu memiliki bendanya karen objek ariyah adalah manfaat, bukan benda.
b.      Syarat-syarat orang yang meminjam
Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1).    Orang yang meminjam harus jelas. Apabila peminjam tidak jelas (majhul), maka ariyah hukumnya tidak sah.
2).    Orang yang meminjam harus memiiki hak tasarruf  atau memiliki ahliyatul ada. Dengan demikian, meminjamkan barang kepada anak di bawah umur, dan gila hukumnya tidak sah. Akan tetapi, apabila peminjam boros, maka menurut qaul yang rajih dalam madzab syafi‟i, ia dibolehkan menerima sendiri ariyah tanpa persetujuan wali.
c.        Syarat-syarat barang yang dipinjam
Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai beriku:
1).    Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu sekarang maupun nanti. Dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil manfaatnya, seperti mobil yang mogok, tidak boleh dipinjamkan. Manfaat yang diperoleh peminjam ada dua macam, yaitu
a).    Manfaat murni yang bukan benda, seperti menempati rumah, mengendarai mobil, dan semacamnya.
b).    Manfaat yang diambil dari benda yng dipinjam, seperti susu kambing, buah dari pohon, dan semacamnya.Apabila seseorang meminjam seekor kambinguntuk diambil susunya, atau menam pohon durian untuk diambil buhnya, maka dalam hal ini ‘ariyah hukumnya sah menurut pendapat yang mu’tamad.
2).    Barang yang dipinjamkan harus berupa barang mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambil manfaatnya menurut syara. Apabila barang tersebut diharamkan maka ‘ariyah hukumnya tidak sah.
3).    Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman, sudah pasti akan habis.  
d.      Shighat, dengan syarat:
Suatu ungkapan yang dapat menunjukkan adanya izin untuk memanfaatkan barang yang dipinjamkan seperti ungkapan “aku pinjamkan kepadamu”. Atau ungkapan yang dapat menunjukkan adanya permohonan untuk meminjamkan barang seperti ungkapan “pinjamkan kepadaku“ dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan bicaranya (Muslich. 2015:472-473). 

4.      Macam-macam Ariyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkan secara muqayyad (terikat) atau mutlaq (Arianti, 2014:32-33).
a.       ‘Ariyah Mutlaqah
‘Ariyah Mutlaqah yaitu pinjam meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun, umpamanya apakah pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaannya.
Contohnya: seseorang meminjakan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, umpamanya waktu dan tempat mengendarainya.
Namun demikian, harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika, penggunaannya tidak disesuaikan dengan kebiasaan dan barang pinjaman tersebut rusak, maka musta’ir harus bertanggung jawab.
b.      ‘Ariyah Muqayyadah
‘Ariyah Muqayyadah adalah akad peminjaman barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik diisyaratkan pada keduanya atau salah satunya. Maka, musta’ir harus bisa menjaga batasan tersebut. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya.
Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat atau nilai barang, tempat dan jenis barang, maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut ssuai dengan keinginanya.

5.      Menarik Barang Pinjaman

Ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum menarik kembali barang pinjaman.
Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, orang yang meminjamkan boleh mencabut kembali barang yang dipinjamkan apabila dikehendakinya karena akad pinjam-meminjam hukumnya boleh.
Sedangkan menurut Malik yang terkenal, ia tidak boleh mencabut kembali sebelum diambil manfaatnya oleh peminjam. Apabila ia mensyaratkan suatu masa tertentu, maka masa tersebut harus dipenuhi. Sedangkan apabila ia tidak mensyaratkan suatu masa tertentu, maka ia harus memenuhi suatu masa yang oleh orang banyak dianggap pantas untuk peminjam tersebut (Rusyd, 2007:308).
Perbedaan pendapat tersebut menurut Ibnu Rusyd, disebabkan oleh perbedaan pemahaman atas bentuk akad pinjaman. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah akad pinjam tidak mengikat, sedangkan menurut Imam Malik akad pinjam itu mengikat sehingga tidak boleh diambil kembali sampai barang pinjaman itu dimanfaatkan oleh peminjam. Sebaliknya, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa akad pinjaman tersebut tidak mengikat sehingga kapan pun peminjam hendak mengambil barang pinjamannya, hal itu dibolehkan (khoshiy’ah, 2014:141-142).

6.      Tanggung Jawab Peminjam

Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda: “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”.



DAFTAR PUSTAKA
Arianti, F. 2014. Fikih Muamalah II. Cetakan pertama. STAIN Batusangkar press. Batusangkar.
Khosyi’ah, S. 2014. Fiqh Muamalah Perbandingan. Cetakan Pertama. CV Pustaka Setia. Bandung.
Muslich, A. W. 2015. Fiqh Muamalah. Cetakan 3. Amzah. Jakarta.
Rusyd, I. 2007. Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jilid 3. Pustaka Amani. Jakarta.
Suhendi, H. 2010. Fiqh Muamalah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.


No comments:

Post a Comment

Cara Mengobati Ambeien (Wasir) secara Traditional

AMBEIEN (WASIR)         Penyakit wasir atau ambeien yang dalam istilah kedokteran disebut  Hemorrhoid , merupakan penyakit yang diakib...