Monday, January 14, 2019

Makalah Fiqh Jinayah Tentang Jarimah Ta’zir


KATA PENGANTAR

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
            Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Jarimah Ta’zir” ini. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah SAW yang telah meninggalkan dua tuntunan hidup untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat yang berupa Al-qur’an dan Sunnah.

            Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas mata kuliah Fiqh Jinayah ”. Semoga bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Amin!

            Terakhir penulis menyampaikan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk kepentingan kemajuan pendidikan, terutama pendidikan Islam di masa mendatang,  Amin!



                                                                                    Batusangkar, Desember  2016




                                                                        Kelompok 14

                                                  


  BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berinteraksi terkadang sering mengalami gesekan dengan manusia yang lainnya, bahkan tak jarang dikarenakan gesekan tersebut manusia dapat melakukan hal-hal yang mengarah kepada perbuatan pidana yang merugikan orang lain. Sebenarnya Al Qur’an dan Al-Hadits telah memberikan penjelasan tentang sifat manusia tersebut, dan bahkan didalamnya pula sudah dijelaskan mengenai berbagai perbuatan pidana yang dilakukan beserta hukumannya, tetapi karena sifat manusia yang dinamis dan kompleks, sifat dan perbuatan pidana yang dilakukannya inipun variatif dan cenderung berkembang dari masa ke masa sehingga perbuatan dan hukumannya terkadang tidak dapat ditemukan didalam nash, perbuatan pidana itulah yang dinamakan jarimah ta’zir, yang mana akan diulas dan dikupas dalam makalah ini, disamping itu makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Hukum Pidana Islam.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir ?
2.      Apa sajakah macam-macam jarimah ta’zir ?
3.      Siapakah orang-orang yang tidak dihukum dengan jarimah ta’zir ?

C.    Tujuan Masalah

Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir.
2.      Untuk mengetahui macam-macam jarimah ta’zir.
3.      Untuk mengetahui siapa sajakah orang-orang yang tidak dihukum ta’zir.


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Jarimah Ta’zir

Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata عَزَرُ – يَغْزِرُyang secara etimologi berarti menolak dan mencegah, kata ini juga memiliki arti menolong atau menguatkan. Hal ini seperti dalam firman allh SWT ;
supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
 (QS. Al-Fath (48): 9)
Kata ta’zir dalam ayat diatas juga berarti membesarkan, membatu, dan menguatkan (agama Allah).[1]Ta’zir yang dimaksud dalam syariat adalah pembinaan atas kesalahan yang tidak ada ketentuan hududnya tidak pula kafarat. Maksudnya ta’zir merupakan hukuman pembinaan yang ditetapkan hakim atas tindakan kejahatan atau kemaksiatan yang tidak ditetapkan hukumnya oleh syariat atau hukuman yang ditetapkan syariat tidak memenuhi syarat pelaksanaannya.[2]
Jadi jarimah ta’zir adalah semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur dalam Al-qur’an dan hadist. Aturan teknis, jenis dan pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa setempat.[3]

B.     Macam-Macam Jarimah Ta’zir

1.      Macam-macam jarimah ta’zir.
Para fuqaha membaginya menjadi dua macam, Dilihat dari segi berubah tidaknya sifat jarimah ta’zir dan jenis hukumannya
a.         Jarimah ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’, seperti mu’amalah dengan cara riba, memicu timbangan, megkhianati amanat, korupsi, menyuap, manipulasi, nepotisme, dan berbuat curang. Semua perbuatan tersebut dilarang dan sanksinya diserahkan kepada penguasa.
b.         Jarimah ta’zir yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah. Bentuknya dapat mengalami perubahan tergantung situasi dan kondisi masyarakat pada waktu tertentu, misalnya UU Lalu Lintas dan Angkutan Raya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, pemerintah mengacu dan berpegang pada prinsip menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadharatan di samping itu penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nash).
Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian apabila dilihat dari hak yang dilanggarnya, yaitu:
a.         Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, pemberontakan, perzinaan, dan tidak taat pada ulil amri.
b.         Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba, yaitu segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusi, seperti tidak membayar hutang dan penghinaan.[4]
2.      Macam-macam hukum ta’zir
a.         Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
1)      Hukuman Mati
Hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang dilakukan berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti mata-mata dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail. Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan as-sunah. Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhshan.
2)      Hukuman cambuk atau Jilid (Dera)
Hukuman cambuk cukup efekif dalam menjerahkan pelaku jarimah ta’zir. Dalam jarimah ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah cambukan dsesuikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.
b.         Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
1)      Hukuman Penjara
Dalam bahasa Arab istilah untuk hukuman penjara yaitu disebut dengan Al-Habsu yang artinya mencegah atau menahan. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud Al-Habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun di tempat lainnya. Penahanan model itulah yang dilaksanakan pada masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan seorang pelaku. Akan tetapi setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah kekuasaan Islam bertambah luas, Khalifah Umar pada masa pemerintahan-nya membeli rumah Shafwan ibn Umayyah dengan harga 4000 dirham untuk kemudian dijadikan sebagai penjara.
Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a)      Hukuman penjara terbatas
Adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur dll. Adapun lamanya hukuman penjara ini tidak ada kesepakatan dikalangan ulama. Batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha.
b)      Hukuman penjara tidak terbatas
Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman ini dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga, atau seperti orang yang mengikat orang lain, kemudian melemparkannya ke depan seekor harimau dll.
2)      Hukuman Pengasingan
Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namaun dalam praktiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuma ta’zir. Di antara jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannats (waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar Madinah. Demikian pula tindak pidana pemalsuan terhadap Alquran. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.
c.         Hukuman yang Berkaitan dengan Harta.
Para ulama, Imam Abu Hanifah dan Muhammad tidak membolehkan sanksi ta’zir berupa harta, sedangkan Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad membolehkannya.
Ulama yang membolehkannya juga berbeda pendapat dalam mengartikan sanksi ta’zir berupa harta benda. Ada yang mengartikannya dengan menahan harta terhukum selama waktu tertentu, bukan dengan merampas atau menghancurkannya. Alasannya adalah, karena tidak boleh mengambil harta seseorang tanpa ada alasan hukum yang membolehkannya.
Ada pula ulama yang berpendapat bahwa sanksi ta’zir berupa harta diperbolehkan pada waktu awal Islam lalu dinasakh, karena dengan diperbolehkannya sanksi yang demikian maka menyebabkan Ulil Amri mengambil harta orang lain dengan sewenang-wenang. Akan tetapi alasan ulama tidak memperbolehkannya ini tidak dapat diterima oleh jumhur ulama, karena banyak bukti, baik Rasulullah maupun Khalifah al-Rasyidin menerapkan sanksi ta’zir berupa harta ini, seperti keputusan Rasul yang memerintahkan untuk menghancurkan tempat khamr dan mendenda dengan dua kali lipat buah-buahan yang dicuri dari pohonnya serta memberikan hukuman didenda kepada pencuri harta bukan dari tempat penyimpanannya yang layak.[5]
d.        Hukuman Ta’zir lainnya.
1)      Peringatan keras dan Dihadirkan ke Hadapan Sidang
Peringatan itu dapat dilakukan dirumah atau dipanggil ke sidang pengadilan. Sudah tentu bentuk yang pertama disebut oleh para ulama sebagai peringatan keras semata-mata dan dianggap lebih ringan daripada bentuk peringatan yang kedua. Sebab pelaksanaan peringatan pertama pelaku cukup dirumah dan didatangi oleh petugas dari pengadilan, sedangkan peringatan kedua pelaku harus hadir ke pengadilan untuk mendapatkan peringatan langsung dari hakim. Dan pemilihan apakah peringatan bentuk pertama atau bentuk kedua yang akan diberikan kepada si pelaku itu sangat tergantung kepada kebijaksanaan hakim dengan mempertimbangkan jarimahnya, pelakunya dan kondisinya. Pemberian peringatan itu harus didasarkan kepada ada atau tidak adanya maslahat.
2)      Dicela
Para ulama mendasarkan pemberian sanksi ta’zir yang berupa celaan ini kepada sunnah Nabi yang menceritakan bahwa Abu Dzar pernah menghina seorang dengan menghina ibunya. Umar bin Khaththab juga pernah menjatuhkan sanksi celaan ini terhadap orang yang memakai pakaian sutera asli.Meskipun para ulama menyebutkan bahwa celaan ini bisa diucapkan didalam maupun diluar persidangan, akan tetapi tampaknya yang lebih tepat adalah dilakukan didepan pengadilan.
3)       Pengucilan
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah dan melarang masyarakat berhubungan dengannya.dasar sanksi ini adalah firman Allah SWT:
“ wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka” (Q.S. al-Nisa: 34)
Disamping itu berdasarkan kepada sunnah Nabi dan sahabatnya yang mengucilkan tiga orang yang mengundurkan diri dari barisan perang Tabuk. Mereka itu adalah Ka’ab ibn Malik, Mirarah ibn Rabi’ah al Amiri dan Hilal ibn Umayah al Waqifi., mereka dikucilkan selama lima puluh hari sampai mereka bertaubat. Dalam kasus ini Rasulullah melarang muslimin berbicara dengan mereka bertiga dan memerintahkan agar menjauhi mereka.
4)      Nasihat
Para ulama mengambil dasar hukum yang berupa nasihat dengan firman Allah an-Nisa’:34.Hukuman ta’zir dalam ayat tersebut bukan hukuman ta’zir yang dijatuhkan oleh Ulil Amri, melainkan hukuman ta’zir yang dijatuhkan oleh kepala rumah tangga atau seorang suami kepada istrinya. Sedangkan yang dimaksud nasihat sebagai sanksi ta’zir sebagaimana dikatakan oleh ibn Abidin adalah memperingatkan si pelaku bila ia lupa atau tergelincir kepada suatu kesalahan yang bukan kebiasaannya. Sudah tentu dalam arti sanksi yang dijatuhkan oleh Ulil Amri nasihat harus diucapkan oleh hakim.
5)      Pemecatan dari Jabatan
Yang dimaksud dengan pemecatan adalah melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau menurunkan atau memberhentikannya dari suatu tugas atau jabatan tertentu.
Sanksi ta’zir yang berupa pemberhentian dari tugas ini biasa diberlakukan terhadap setiap pegawai yang melakukan jarimah. Pada prinsipnya hukuman pemecatan ini dapat diterapkan dalam segala kasus kejahatan, baik sebagai hukuman pokok, pengganti, maupun sebagai hukuman tambahan sebagai akibat seorang pegawai negeri tidak dapat dipercayai untuk memegang suatu tugas tertentu.
6)      Diumumkan Kejahatannya
Dasar hukuman pengumuman kejahatan sebagai hukuman ta’zir adalah tindakan Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu keliling kota. Jumhur ulama berpendapat bahwa mengumumkan kejahatan seseorang itu diperkenankan.
Dengan demikian, menurut fuqaha sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan itu dimaksudkan agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa.
Diantara jaimah yang dicontohkan oleh para ulama adalah saksi palsu, pencurian, kerusakan akhlak, kezaliman hakim, dan menjual belikan harta yang haram. Dari contoh diatas jelas bahwa sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan si pelaku itu diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang mempunyai pengaruh atau bahaya yang besar bagi masyarakat.[6]

C.    Pengecualian/Orang Yang Tidak Dapat Di Hukum Ta’zir

Penecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib berkata kepada Umar bin Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat perbuatan baik atau buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab atas apa yang dilakukan, karena hal berikut:
1.        Orang yang gila sampai dia sadar
2.       Anak-anak sampai dia mencapai usia dewasa/baligh
3.      Orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat Imam bukhari.)
Berdasarkan riwayat diatas, kita dapat mengetahui tanggung jawab hukum atau tidak pidana dalam syariat.Tanggung jawab atau tindak pidana yang dilakukan dibenarkan kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara atau kerabatnya yang laintak dapat mengambil alih/menjalankan hukuman karena kejahatan yang dilakukan sebagaimana yang telah terjadi pada masa jahiliyah, sebelum islam. Al-Qur’anul karim menjelaskan bahwa tak seorangpun yang akan memikul beban orang lain.
            Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah." Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (Q.S Al-An’am: 124)
Tanggung jawab bersama itu hanya akan dipikul oleh keluarga tersebut dalam hal pembayaran hutang darah (Diyat) atau kerusakan karena suatu kejahatan. Dalam hal ini, si pelaku, demikian pula kerabatnya dari pihak ayah, secara bersama akan bertanggung jawab untuk membayar “Diyat” (hutang darah) atau kerusakan fisik yang diakibatkan oleh kejahatannya.[7]






BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata عَزَرُ – يَغْزِرُyang secara etimologi berarti menolak dan mencegah, kata ini juga memiliki arti menolong atau menguatkan.Ta’zir yang dimaksud dalam syariat adalah pembinaan atas kesalahan yang tidak ada ketentuan hududnya tidak pula kafarat. Maksudnya ta’zir merupakan hukuman pembinaan yang ditetapkan hakim atas tindakan kejahatan atau kemaksiatan yang tidak ditetapkan hukumnya oleh syariat atau hukuman yang ditetapkan syariat tidak memenuhi syarat pelaksanaannya.
Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian apabila dilihat dari hak yang dilanggarnya, yaitu:
a.     Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah.
b.    Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba.
hukum ta’zir terbagi menjadi
a.       Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
b.    Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
c.     Hukuman yang Berkaitan dengan Harta.
d.    Hukuman Ta’zir lainnya.

B.     Saran

Demikianlah makalah dari kami, dan yang tertuang dalam makalah ini, menurut kami bukanlah hal yang sempurna kebenarannya, akan tetapi ini adalah bagian dari proses pembelajaran menuju kebenaran. Oleh karena itu kami masih sangat mengharapkan saran dan kritik dari teman-teman yang berpartisipasi dan berperan aktif dalam forum diskusi ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA


Abdur, R.1992.Tindak Pidana Islam. Rineka Cipta. Jakarta.
Nurul Irfan Dan Masyarofah. 2015.Fiqh Jinayah. Amzah. Jakarta.
Sabiq, S. 2012.Fikih Sunnah 4.Cakrawala Publishing. Jakarta.
http://asrofisblog.blogspot.co.id/2015/04/jarimah-tazir-dalam-perspektif-hukum.html



[1]Nurul Irfan Dan Masyarofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah,2015) hal. 136
[2]Sayyid Sabiq Fikih Sunnah 4 (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012) hal.485
[3]Nurul Irfan Dan Masyarofah,Op:cit, hal 4
[4]Nurul Irfan Dan Masyarofah,Op:cit, hal 144
[5]Ibid, hal 147-158

[6] http://asrofisblog.blogspot.co.id/2015/04/jarimah-tazir-dalam-perspektif-hukum.html

[7]Abdur rahman, tindak pidana dalam syariat islam, (Jakarta: Rineka cipta, 1992), hal 15-16


No comments:

Post a Comment

Cara Mengobati Ambeien (Wasir) secara Traditional

AMBEIEN (WASIR)         Penyakit wasir atau ambeien yang dalam istilah kedokteran disebut  Hemorrhoid , merupakan penyakit yang diakib...