KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Jarimah Ta’zir” ini. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan
kepada Rasulullah SAW yang telah meninggalkan dua tuntunan hidup untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat yang berupa Al-qur’an dan Sunnah.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
tugas mata kuliah “ Fiqh Jinayah ”. Semoga bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis
dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Amin!
Terakhir penulis menyampaikan harapan semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan berguna untuk kepentingan kemajuan pendidikan, terutama
pendidikan Islam di masa mendatang,
Amin!
Batusangkar,
Desember 2016
Kelompok 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berinteraksi
terkadang sering mengalami gesekan dengan manusia yang lainnya, bahkan tak
jarang dikarenakan gesekan tersebut manusia dapat melakukan hal-hal yang
mengarah kepada perbuatan pidana yang merugikan orang lain. Sebenarnya Al
Qur’an dan Al-Hadits telah memberikan penjelasan tentang sifat manusia
tersebut, dan bahkan didalamnya pula sudah dijelaskan mengenai berbagai
perbuatan pidana yang dilakukan beserta hukumannya, tetapi karena sifat manusia
yang dinamis dan kompleks, sifat dan perbuatan pidana yang dilakukannya inipun
variatif dan cenderung berkembang dari masa ke masa sehingga perbuatan dan
hukumannya terkadang tidak dapat ditemukan didalam nash, perbuatan pidana
itulah yang dinamakan jarimah ta’zir, yang mana akan diulas dan dikupas dalam
makalah ini, disamping itu makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas
kelompok dalam mata kuliah Hukum Pidana Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan jarimah ta’zir ?
2.
Apa
sajakah macam-macam jarimah ta’zir ?
3.
Siapakah
orang-orang yang tidak dihukum dengan jarimah ta’zir ?
C. Tujuan Masalah
Tujuan merupakan ungkapan sasaran-sasaran yang ingim dicapai dalam
makalah ini. Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir.
2.
Untuk
mengetahui macam-macam jarimah ta’zir.
3.
Untuk
mengetahui siapa sajakah orang-orang yang tidak dihukum ta’zir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jarimah Ta’zir
Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata عَزَرُ – يَغْزِرُyang
secara etimologi berarti menolak dan mencegah, kata ini juga memiliki arti
menolong atau menguatkan. Hal ini seperti dalam firman allh SWT ;
supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.
(QS. Al-Fath (48): 9)
Kata ta’zir dalam ayat diatas juga berarti membesarkan, membatu, dan
menguatkan (agama Allah).[1]Ta’zir yang dimaksud dalam syariat adalah pembinaan
atas kesalahan yang tidak ada ketentuan hududnya tidak pula kafarat. Maksudnya
ta’zir merupakan hukuman pembinaan yang ditetapkan hakim atas tindakan
kejahatan atau kemaksiatan yang tidak ditetapkan hukumnya oleh syariat atau
hukuman yang ditetapkan syariat tidak memenuhi syarat pelaksanaannya.[2]
Jadi jarimah ta’zir adalah semua jenis tindak pidana yang tidak
secara tegas diatur dalam Al-qur’an dan hadist. Aturan teknis, jenis dan
pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa setempat.[3]
B. Macam-Macam Jarimah Ta’zir
1.
Macam-macam
jarimah ta’zir.
Para fuqaha
membaginya menjadi dua macam, Dilihat dari segi berubah tidaknya sifat jarimah
ta’zir dan jenis hukumannya
a.
Jarimah
ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’, seperti mu’amalah dengan cara
riba, memicu timbangan, megkhianati amanat, korupsi, menyuap, manipulasi,
nepotisme, dan berbuat curang. Semua perbuatan tersebut dilarang dan sanksinya
diserahkan kepada penguasa.
b.
Jarimah
ta’zir yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah. Bentuknya dapat mengalami
perubahan tergantung situasi dan kondisi masyarakat pada waktu tertentu,
misalnya UU Lalu Lintas dan Angkutan Raya.
Dalam
menetapkan jarimah ta’zir, pemerintah mengacu dan berpegang pada prinsip
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemadharatan di samping itu penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan
prinsip syar’i (nash).
Para ulama
membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian apabila dilihat dari hak yang
dilanggarnya, yaitu:
a.
Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu segala sesuatu yang berkaitan
dengan kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, perampokan,
pencurian, pemberontakan, perzinaan, dan tidak taat pada ulil amri.
b.
Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba, yaitu segala sesuatu
yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusi, seperti tidak membayar hutang
dan penghinaan.[4]
2.
Macam-macam
hukum ta’zir
a.
Hukuman
Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
1)
Hukuman
Mati
Hukuman mati
ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada
ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah
yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan
berulang-ulang. Contohnya pencurian yang dilakukan berulang-ulang dan menghina
Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia
masuk Islam.
Malikiyah juga
membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu,
seperti mata-mata dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail. Sebagian
fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus
penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan
as-sunah. Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual
(liwath) dengan tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhshan.
2)
Hukuman
cambuk atau Jilid (Dera)
Hukuman cambuk cukup efekif dalam menjerahkan pelaku jarimah
ta’zir. Dalam jarimah ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan
jumlah cambukan dsesuikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.
b.
Hukuman
yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
1)
Hukuman
Penjara
Dalam bahasa
Arab istilah untuk hukuman penjara yaitu disebut dengan Al-Habsu yang artinya
mencegah atau menahan. Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud
Al-Habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit,
melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan
hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau masjid, maupun di tempat
lainnya. Penahanan model itulah yang dilaksanakan pada masa Nabi dan Abu Bakar
tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan seorang pelaku. Akan
tetapi setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah kekuasaan Islam
bertambah luas, Khalifah Umar pada masa pemerintahan-nya membeli rumah Shafwan
ibn Umayyah dengan harga 4000 dirham untuk kemudian dijadikan sebagai penjara.
Hukuman penjara dalam syariat Islam
dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a)
Hukuman
penjara terbatas
Adalah hukuman
penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini
diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamr, pemakan riba, melanggar
kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur dll.
Adapun lamanya hukuman penjara ini tidak ada kesepakatan dikalangan ulama.
Batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan
di kalangan fuqaha.
b)
Hukuman
penjara tidak terbatas
Hukuman penjara
tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai
orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa
disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman ini dikenakan kepada penjahat
yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh
oleh orang ketiga, atau seperti orang yang mengikat orang lain, kemudian
melemparkannya ke depan seekor harimau dll.
2)
Hukuman
Pengasingan
Meskipun hukuman pengasingan itu
merupakan hukuman had, namaun dalam praktiknya, hukuman tersebut diterapkan
juga sebagai hukuma ta’zir. Di antara jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman
pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannats (waria), yang
pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar Madinah. Demikian
pula tindak pidana pemalsuan terhadap Alquran. Hukuman pengasingan ini
dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang
lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan
pengaruh-pengaruh tersebut.
c.
Hukuman
yang Berkaitan dengan Harta.
Para ulama,
Imam Abu Hanifah dan Muhammad tidak membolehkan sanksi ta’zir berupa harta,
sedangkan Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad membolehkannya.
Ulama yang
membolehkannya juga berbeda pendapat dalam mengartikan sanksi ta’zir berupa
harta benda. Ada yang mengartikannya dengan menahan harta terhukum selama waktu
tertentu, bukan dengan merampas atau menghancurkannya. Alasannya adalah, karena
tidak boleh mengambil harta seseorang tanpa ada alasan hukum yang
membolehkannya.
Ada pula ulama
yang berpendapat bahwa sanksi ta’zir berupa harta diperbolehkan pada waktu awal
Islam lalu dinasakh, karena dengan diperbolehkannya sanksi yang demikian maka
menyebabkan Ulil Amri mengambil harta orang lain dengan sewenang-wenang. Akan
tetapi alasan ulama tidak memperbolehkannya ini tidak dapat diterima oleh
jumhur ulama, karena banyak bukti, baik Rasulullah maupun Khalifah al-Rasyidin
menerapkan sanksi ta’zir berupa harta ini, seperti keputusan Rasul yang
memerintahkan untuk menghancurkan tempat khamr dan mendenda dengan dua kali
lipat buah-buahan yang dicuri dari pohonnya serta memberikan hukuman didenda
kepada pencuri harta bukan dari tempat penyimpanannya yang layak.[5]
d.
Hukuman
Ta’zir lainnya.
1)
Peringatan
keras dan Dihadirkan ke Hadapan Sidang
Peringatan itu
dapat dilakukan dirumah atau dipanggil ke sidang pengadilan. Sudah tentu bentuk
yang pertama disebut oleh para ulama sebagai peringatan keras semata-mata dan
dianggap lebih ringan daripada bentuk peringatan yang kedua. Sebab pelaksanaan
peringatan pertama pelaku cukup dirumah dan didatangi oleh petugas dari
pengadilan, sedangkan peringatan kedua pelaku harus hadir ke pengadilan untuk
mendapatkan peringatan langsung dari hakim. Dan pemilihan apakah peringatan
bentuk pertama atau bentuk kedua yang akan diberikan kepada si pelaku itu
sangat tergantung kepada kebijaksanaan hakim dengan mempertimbangkan
jarimahnya, pelakunya dan kondisinya. Pemberian peringatan itu harus didasarkan
kepada ada atau tidak adanya maslahat.
2)
Dicela
Para ulama mendasarkan pemberian
sanksi ta’zir yang berupa celaan ini kepada sunnah Nabi yang menceritakan bahwa
Abu Dzar pernah menghina seorang dengan menghina ibunya. Umar bin Khaththab
juga pernah menjatuhkan sanksi celaan ini terhadap orang yang memakai pakaian
sutera asli.Meskipun para ulama menyebutkan bahwa celaan ini bisa diucapkan
didalam maupun diluar persidangan, akan tetapi tampaknya yang lebih tepat
adalah dilakukan didepan pengadilan.
3)
Pengucilan
Yang dimaksud
dengan pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah dan
melarang masyarakat berhubungan dengannya.dasar sanksi ini adalah firman Allah
SWT:
“ wanita-wanita
yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari
tempat tidur mereka”
(Q.S. al-Nisa: 34)
Disamping itu berdasarkan kepada
sunnah Nabi dan sahabatnya yang mengucilkan tiga orang yang mengundurkan diri
dari barisan perang Tabuk. Mereka itu adalah Ka’ab ibn Malik, Mirarah ibn
Rabi’ah al Amiri dan Hilal ibn Umayah al Waqifi., mereka dikucilkan selama lima
puluh hari sampai mereka bertaubat. Dalam kasus ini Rasulullah melarang
muslimin berbicara dengan mereka bertiga dan memerintahkan agar menjauhi
mereka.
4)
Nasihat
Para ulama
mengambil dasar hukum yang berupa nasihat dengan firman Allah
an-Nisa’:34.Hukuman ta’zir dalam ayat tersebut bukan hukuman ta’zir yang
dijatuhkan oleh Ulil Amri, melainkan hukuman ta’zir yang dijatuhkan oleh kepala
rumah tangga atau seorang suami kepada istrinya. Sedangkan yang dimaksud
nasihat sebagai sanksi ta’zir sebagaimana dikatakan oleh ibn Abidin adalah
memperingatkan si pelaku bila ia lupa atau tergelincir kepada suatu kesalahan
yang bukan kebiasaannya. Sudah tentu dalam arti sanksi yang dijatuhkan oleh
Ulil Amri nasihat harus diucapkan oleh hakim.
5)
Pemecatan
dari Jabatan
Yang dimaksud
dengan pemecatan adalah melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau
menurunkan atau memberhentikannya dari suatu tugas atau jabatan tertentu.
Sanksi ta’zir
yang berupa pemberhentian dari tugas ini biasa diberlakukan terhadap setiap
pegawai yang melakukan jarimah. Pada prinsipnya hukuman pemecatan ini dapat diterapkan
dalam segala kasus kejahatan, baik sebagai hukuman pokok, pengganti, maupun
sebagai hukuman tambahan sebagai akibat seorang pegawai negeri tidak dapat
dipercayai untuk memegang suatu tugas tertentu.
6)
Diumumkan
Kejahatannya
Dasar hukuman
pengumuman kejahatan sebagai hukuman ta’zir adalah tindakan Umar terhadap
seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu keliling kota.
Jumhur ulama berpendapat bahwa mengumumkan kejahatan seseorang itu
diperkenankan.
Dengan
demikian, menurut fuqaha sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan itu
dimaksudkan agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar orang lain tidak
melakukan perbuatan serupa.
Diantara jaimah
yang dicontohkan oleh para ulama adalah saksi palsu, pencurian, kerusakan
akhlak, kezaliman hakim, dan menjual belikan harta yang haram. Dari contoh
diatas jelas bahwa sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan si pelaku itu
diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang mempunyai pengaruh atau bahaya
yang besar bagi masyarakat.[6]
C. Pengecualian/Orang Yang Tidak Dapat Di Hukum Ta’zir
Penecualian dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib berkata
kepada Umar bin Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat perbuatan
baik atau buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab atas apa yang
dilakukan, karena hal berikut:
1.
Orang yang gila sampai dia sadar
2.
Anak-anak sampai dia mencapai usia
dewasa/baligh
3.
Orang yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat
Imam bukhari.)
Berdasarkan
riwayat diatas, kita dapat mengetahui tanggung jawab hukum atau tidak pidana
dalam syariat.Tanggung jawab atau tindak pidana yang dilakukan dibenarkan
kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara atau kerabatnya yang
laintak dapat mengambil alih/menjalankan hukuman karena kejahatan yang
dilakukan sebagaimana yang telah terjadi pada masa jahiliyah, sebelum islam.
Al-Qur’anul karim menjelaskan bahwa tak seorangpun yang akan memikul beban orang
lain.
“Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka,
mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami
yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah."
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang
yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras
disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (Q.S Al-An’am:
124)
Tanggung jawab
bersama itu hanya akan dipikul oleh keluarga tersebut dalam hal pembayaran
hutang darah (Diyat) atau kerusakan karena suatu kejahatan. Dalam hal ini, si
pelaku, demikian pula kerabatnya dari pihak ayah, secara bersama akan
bertanggung jawab untuk membayar “Diyat” (hutang darah) atau kerusakan fisik
yang diakibatkan oleh kejahatannya.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata عَزَرُ – يَغْزِرُyang
secara etimologi berarti menolak dan mencegah, kata ini juga memiliki arti
menolong atau menguatkan.Ta’zir yang
dimaksud dalam syariat adalah pembinaan atas kesalahan yang tidak ada ketentuan
hududnya tidak pula kafarat. Maksudnya ta’zir merupakan hukuman pembinaan yang
ditetapkan hakim atas tindakan kejahatan atau kemaksiatan yang tidak ditetapkan
hukumnya oleh syariat atau hukuman yang ditetapkan syariat tidak memenuhi syarat
pelaksanaannya.
Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian apabila
dilihat dari hak yang dilanggarnya, yaitu:
a.
Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah.
b.
Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba.
hukum ta’zir terbagi menjadi
a.
Hukuman
Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
b.
Hukuman
yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
c.
Hukuman
yang Berkaitan dengan Harta.
d.
Hukuman
Ta’zir lainnya.
B. Saran
Demikianlah makalah dari
kami, dan yang tertuang dalam makalah ini, menurut kami bukanlah hal yang
sempurna kebenarannya, akan tetapi ini adalah bagian dari proses pembelajaran
menuju kebenaran. Oleh karena itu kami masih sangat mengharapkan saran dan
kritik dari teman-teman yang berpartisipasi dan berperan aktif dalam forum
diskusi ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdur, R.1992.Tindak Pidana Islam.
Rineka Cipta. Jakarta.
Nurul Irfan Dan
Masyarofah. 2015.Fiqh Jinayah. Amzah. Jakarta.
http://asrofisblog.blogspot.co.id/2015/04/jarimah-tazir-dalam-perspektif-hukum.html
[3]Nurul
Irfan Dan Masyarofah,Op:cit, hal 4
[4]Nurul
Irfan Dan Masyarofah,Op:cit, hal 144
[6]
http://asrofisblog.blogspot.co.id/2015/04/jarimah-tazir-dalam-perspektif-hukum.html
No comments:
Post a Comment